No more ‘judge a book from its cover’

Apa yang sekilas terlihat, itu cerminan gambaran keseluruhan. Begitulah modal awal seseorang dalam memberikan penilaian. Perihal cover, performance, penampilan menjadi utama dan pertama untuk dilihat. Sekali saja cover kita buruk, jatuh juga citra diri kita secara keseluruhan. Begitupun sebaliknya. Sekali saja performa kita baik di mata orang, dipastikan akan baik juga citra diri kita seluruhnya. Artinya, meng-generalisasikan sesuatu atas dasar yang tampak diluarnya.

Bukankah apa yang terlihat bukan berarti sama dengan apa yang tidak tampak? Dan yang tidak tampak pun bukan berarti tidak ada.

Mengingatkan pada teori Freud bahwa manusia itu ibarat fenomena gunung es (iceberg). Bongkahan es ada yang muncul diatas permukaan air, ada pula yang dibawah air. Es yang berada di permukaan air merupakan bagian puncak, yang hanya memperlihatkan sedikit bagian saja. Sisanya (sebagian besar) berada dibawah permukaan air. Es yang berada dibawah permukaan air lebih luas, mengakar kuat, dan tidak akan tampak selama kita tidak menyelaminya. Beberapa hal memang kelihatannya tidak istimewa diluarnya, tapi bisa jadi setelah kita dalami, suatu hal itu bermakna untuk kita.

Adapula dalam kehidupan manusia. Yang biasa kita lihat mungkin sekitar 2 bagian saja. Dan 8 bagian lainnya terpendam dan jauh dari penglihatan kita. Belum tentu orang-orang disekitar kita, yang dianggap biasa-biasa saja, akan memiliki kehidupan yang biasa pula. Bisa jadi, tampak biasa saja di luarnya, tapi di dalam diri mereka terdapat sesuatu yang istimewa, yang tidak terlihat oleh mata kita. Ada lagi, mungkin teman/ sahabat/ saudara/ orang lain yang tampak biasa saja di hadapan kita itu punya pemikiran yang luas, kepribadian yang matang, dan punya kontribusi yang besar terhadap suatu hal. Bahkan (mungkin) lebih dari itu.


Judgement terhadap apa yang nampak, sah-sah saja kita lakukan, selama tidak menggeneralisasikan secara keseluruhan. Lakukan secukupnya. Kalau memang mau menilai fisiknya, just do that, jangan hubungkan antara tampilan dengan sifat-sifat (pribadi) nya. Kita tidak pernah tahu, apa sesungguhnya yang ada dalam diri setiap orang, apa yang mereka pikirkan, apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan. Kita tak paham sama sekali, kecuali kita mengenalinya lebih dalam.

Ibarat lautan. Diatas hanya menampakkan ombak yang kadang muncul kadang tidak, kadang menggulung dengan sempurna, kadang hanya mengalir saja. Tapi ingat, di bawah permukaan air laut itu terdapat samudera yang sangat luas, dalam, tak berbatas. Banyak keindahan yang bisa kita temukan disana. Banyak warna-warna tersembunyi didalamnya.

Dalam samudera pun terdapat palung-palung yang begitu curam. Ia ibarat jurang yang berada dalam lautan. Analogikan palung itu dengan suatu kekurangan diri yang sedang coba kita takhlukkan. Ia berada dibawah, tak terlihat, namun pasti ada di setiap samudera. Bagaimana kita benar-benar tahu kekurangan seseorang, kalau kita belum pernah benar-benar mencarinya? Bagaimana kita bisa tahu keindahan samudera kalau kita tidak pernah menyelaminya?
Bagaimana kita bisa memutuskan kalau ombak yang menggulung di tengah samudera itu mengerikan, padahal kita hanya melihat dari kejauhan?

Menilai itu membiasakan diri. Menilai sesuatu itu belajar. Belajar dari diri sendiri.
Kita cukup sadari bahwa seringkali kita tak jujur dalam bersikap, banyak berpura-pura, menutupi apa yang kita punya. Dan yakinlah, orang lain pun bisa dipastikan melakukan hal yang sama.
Lalu, untuk belajar dari diri sendiri pun masih sulit, bagaimana bisa dengan cepatnya menjudge bahwa hal ini buruk, hal itu sangat baik, dia begini, beliau seperti itu, orang itu begitu, hanya dalam waktu yang singkat saja. Pantas kah kita untuk menilai? Apakah tidak terlalu cepat untuk memutuskan?

Lagi-lagi, sekarang ini memang krisis. Aku akan beri contoh. Misalnya orang dengan cover seperti itu, langsung bisa di labeli begini. Orang dengan gaya bicara seperti itu, langsung mendapat gelar seperti ini. Orang yang mencoba menjadi seperti ini, langsung di cap seperti itu. Sangat mudah bukan menilai orang lain dari luarnya saja? 

Padahal, apa yang tampak diluar belum tentu merepresentasikan apa yang ada di dalamnya. Oleh karenanya wajar jika banyak yang merasa tertipu, merasa dibohongi, dan dikacaukan karena kesalahan di awal yang sudah mempercayai suatu hal dari tampilannya saja. 
Akhirnya, yang terbaik adalah mencoba menyadari keadaan diri sendiri, menilai diri sedalam-dalamnya, mengulas kembali niat tujuan kita, memahami kondisi diri seikhlas-ikhlasnya, membiasakan untuk diam sebelum tahu titik pastinya, memberanikan bertanya jika ada hal yang dirasa jauh dan kita tak mampu menjangkaunya, dan pada saatnya memang harus berusaha untuk memandang sesuatu jangan dari luarnya saja. Mari coba membiasakan untuk menyelami lebih dalam, memandang sesuatu secara keseluruhan, melihat suatu hal dengan perspektif yang luas, jangan hanya setengah-setengah.

Begitu pun dalam memahami suatu hal, jangan melulu melihat yang negatif saja. Setiap hal atau seseorang berpotensi menjadi baik, setiap orang pasti berusaha. Begini misalnya, jangan lihat apa yang orang miliki, tapi coba lihat bagaimana usahanya untuk mendapatkannya. Jangan lihat buruk perilakunya, tapi lihat seberapa jauh usahanya untuk memperbaikinya. Jangan lihat apa pekerjaannya, tapi lihat seberapa jauh dia mengusahakannya. Jangan lihat baik buruk parasnya, tapi lihat seberapa jauh kontribusinya terhadap berbagai hal. 

And i do believe. Bahwa setiap orang itu pasti berusaha menjadi baik, setiap orang itu tidak melulu hanya memiliki keburukan dan kekurangan. Aku, kamu, kita hanya sebatas manusia. Wajar jika punya banyak celah. Punya beribu kekurangan. Kalaupun ada hal baik yang nampak pun, mungkin hanya kebetulan saja. Begitupun orang lain. Apa yang coba mereka tunjukkan belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya mereka pikirkan. Bisa jadi, usaha mereka jauh lebih berat daripada apa yang sedang kita usahakan. Apa yang mereka pikirkan lebih rumit dari apa yang sedang kita rencanakan. 

Perjuangan setiap orang pasti berbeda-beda. Entah pada akhirnya akan menjadi baik atau memburuk, setidaknya kita jangan memperkeruh diri dan suasana.

Terima kasih sudah membaca tulisan random ini.
Sekian
No more ‘judge a book from its cover’ No more ‘judge a book from its cover’ Reviewed by Dini Nh on February 08, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.